Mabit di Muzdalifah dan Mina
Mabit di Muzdalifah dilakukan pada malam 10 Dzulhijjah setelah wukuf di Arafah. Di sebelah barat Muzdalifah terdapat Masy’aril Haram, yaitu Jabal Quzzah, yang sebagian mufassir anggap sebagai Muzdalifah secara keseluruhan. Di tempat ini, jamaah diharuskan melakukan mabit, minimal hingga melewati tengah malam, dan lebih utama jika dilanjutkan hingga selesai shalat Subuh sebelum berangkat ke Mina untuk melontar Jumrah Aqabah.
Para imam madzhab sependapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya wajib, kecuali bagi mereka yang memiliki udzur, seperti sakit atau menjaga harta. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 198, yang menyatakan pentingnya berdzikir di Masy’aril Haram setelah meninggalkan Arafah.
Hadis Rasulullah SAW riwayat Jabir juga menjelaskan tata cara yang beliau lakukan di Muzdalifah, termasuk shalat Maghrib dan Isya serta beristirahat hingga terbit fajar.
Menurut madzhab Syafi’i, jamaah harus berada di Muzdalifah setidaknya melewati pertengahan malam. Madzhab Hanafi menyatakan bahwa cukup berada di sana sebentar sebelum fajar, dan jika tidak, harus membayar dam kecuali ada alasan syar’i. Madzhab Hambali juga menganggap mabit di Muzdalifah sebagai wajib, dapat dilakukan kapan saja setelah wukuf. Sementara itu, madzhab Maliki menekankan pentingnya berada di Muzdalifah, meskipun hanya sebentar dalam perjalanan menuju Mina setelah wukuf.
Ibadah haji adalah ibadah fisik yang memerlukan stamina tubuh yang sehat. Jamaah dianjurkan untuk istirahat sejenak untuk memulihkan kesehatan fisik dan mental. Salah satu cara untuk beristirahat adalah dengan Mabit, atau bermalam, di Muzdalifah dan Mina sebelum melanjutkan ritual berikutnya.
Kegiatan Mabit bertujuan memberikan kesempatan bagi jamaah untuk beristirahat sebelum melontar jumrah Aqabah di Mina. Menurut buku *Ensiklopedia Fiqih Haji dan Umrah* karya Gus Arifin, Mabit berasal dari kata “baata,” yang berarti bermalam. Mabit dilakukan dalam dua tahap: pertama di Muzdalifah dan kemudian di Mina.
Setelah matahari terbenam pada hari Arafah (9 Dzulhijjah), jamaah berangkat dari Arafah menuju Muzdalifah. Di Muzdalifah, mereka melakukan sholat Magrib dan Isya secara jamak takhir dan bermalam hingga tengah malam. Bagi yang tiba sebelum tengah malam, mereka harus menunggu hingga waktu tersebut.
Mabit dapat dilakukan dengan berhenti sejenak dalam kendaraan atau turun untuk mencari kerikil yang akan digunakan saat melempar jumrah di Mina. Setelah tengah malam, jamaah akan bergerak menuju Mina untuk melanjutkan mabit hingga tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah.
Mabit Musdalifah
Mabit di Muzdalifah dilakukan pada malam 10 Dzulhijjah setelah wukuf di Arafah. Di sebelah barat Muzdalifah terdapat Masy’aril Haram, yaitu Jabal Quzzah, yang sebagian mufassir anggap sebagai Muzdalifah secara keseluruhan. Di tempat ini, jamaah diharuskan melakukan mabit, minimal hingga melewati tengah malam, dan lebih utama jika dilanjutkan hingga selesai shalat Subuh sebelum berangkat ke Mina untuk melontar Jumrah Aqabah.
Para imam madzhab sependapat bahwa mabit di Muzdalifah hukumnya wajib, kecuali bagi mereka yang memiliki udzur, seperti sakit atau menjaga harta. Ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Baqarah ayat 198, yang menyatakan pentingnya berdzikir di Masy’aril Haram setelah meninggalkan Arafah.
Pun berdasarkan keterangan hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW) riwayat Jabir, sebagai berikut, “…Rasulullah mendatangi Muzdalifah, lalu shalat Maghrib dan Isya dengan adzan sekali dan dua kali iqomat, dan tidak shalat (sunat) di antara keduanya. Kemudian berbaring (tidur) sampai terbit fajar: Lalu shalat Subuh setelah jelas waktu Subuh dengan sekali adzan dan sekali iqomat. Kemudian mengendarai Qaswaa sehingga sampai di Masy’aril Haram lalu menghadap kiblat, berdo’a, bertakbir, bertahlil dan membaca kalimat tauhid lalu terus bewukuf sampai terang benar. Lalu berangkat sebelum terbit matahari……”
Menurut madzhab Syafi’i, jamaah harus berada di Muzdalifah setidaknya melewati pertengahan malam. Madzhab Hanafi menyatakan bahwa cukup berada di sana sebentar sebelum fajar, dan jika tidak, harus membayar dam kecuali ada alasan syar’i. Madzhab Hambali juga menganggap mabit di Muzdalifah sebagai wajib, dapat dilakukan kapan saja setelah wukuf. Sementara itu, madzhab Maliki menekankan pentingnya berada di Muzdalifah, meskipun hanya sebentar dalam perjalanan menuju Mina setelah wukuf.


Mabit di Mina
Mabit di Mina dilakukan pada malam Arafah (8 Dzulhijjah) dan hukumnya sunnah, tidak wajib. Ulama empat madzhab memiliki pendapat berbeda mengenai hukum mabit di Mina pada hari-hari tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah).
Menurut madzhab Hanafi, mabit di Mina adalah sunnah yang memudahkan jamaah dalam melontar jumrah pada hari tasyriq. Mereka yang meninggalkannya tidak dikenakan dam, tetapi dianggap berbuat tidak baik. Sementara itu, madzhab Maliki mewajibkan mabit di Mina, serta melontar jumrah, tahallul, dan membayar fidyah. Madzhab Syafi’i dan Hanbali juga menganggap mabit di Mina wajib.
Jamaah diharuskan menjalani sebagian besar malam di Mina, kecuali bagi yang terburu-buru. Bagi yang memiliki udzur, seperti penggembala unta atau yang khawatir akan keselamatan, diperbolehkan tidak mabit, tetapi tetap harus melontar jumrah. Menurut madzhab Hanbali, mereka yang meninggalkan mabit tanpa udzur dikenai dam, baik berupa makanan atau uang.
Waktu mabit di Mina berlangsung pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, dengan tempat mabit bagi jamaah Indonesia di Haratul Lisan, yang juga ditetapkan untuk jamaah dari negara lain.
Setelah mabit, jamaah melanjutkan ke Nafar Awal (keberangkatan pada 12 Dzulhijjah) dan Nafar Tsani (keberangkatan pada 13 Dzulhijjah).
Mabit di Muzdalifah dan Mina adalah bagian penting dari ibadah haji. Memahami dan mengamalkan tata cara mabit yang benar akan membantu jamaah mencapai kemabruran dalam hajinya.


Related Portfolios

Haji Khusus
Sebuah perjalanan ke baitullah ketika haji

Haji Khusus
Sebuah perjalanan yang mendekatkan diri kepada

Jumrah
Haji tidak akan lepas dari jumrah